Langsung ke konten utama

Code: Sebuah Kampung Unik


Kali Code terlihat sangat bersih dengan rumah-rumah yang tertata rapi. Saat pertama Anda memasuki gapura kelurahan, di kanan jalan terdapat rumah panggung dengan beberapa sekat mirip rumah susun. Rumah inilah karya arsitektur pertama Romo Mangun yang dibangun tahun 1984. Rumah-rumah tersebut tidak boleh diklaim oleh siapapun. Yang boleh menempati rumah tersebut adalah warga Code yang benar-benar belum memiliki rumah atau bagi gelandangan (homeless) dengan biaya sangat murah, hanya Rp. 1.000,00 per bulan.

TikJi TikBeh = Mukti Siji Mukti Kabeh, Mati Siji Mati Kabeh...



Kata – kata tersebut di atas adalah slogan yang digunakan sebagai pondasi semangat kerjasama dan persaudaraan warga kampung code. Penerapan slogan tersebut sebagai contoh terlihat pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri ketika ada pembagian zakat maka semua warga akan mendapatkan zakat tanpa membedakan suku dan agama orang tersebut.

Saat ini untuk pendatang baru sudah tidak bisa diterima karena masalah kepadatan. Tiap awal bulan slalu ada evaluasi yang berhubungan dengan pembangunan kampung. Acara evaluasi ini diselenggarakan di balai serbaguna yang bisa berfungsi untuk pernikahan, sunatan, rapat, arisan, dll.

Mata pencaharian mayoritas: pemulung, tukang becak, PRT, ada yg punya usaha sendiri, usaha kecil spt kios ban, servis elektronik. Sekarang usia anak – anak sekolah sudah tidak ada yang drop out bahkan sudah ada yang kuliah (4 orang mahasiswa).

Agama di kampung ini 50% muslim dan 50% non muslim. Sejak 2008 struktur kampung seksi kerohanian dihapuskan oleh Pak Darsam (RT baru), beliau berasal dari Tuban Jawa Timur, alumni FKIP UNY, yang menempati kampung tersebut sejak 20 tahun silam. Penghapusan seksi itu dirasa utk menghormati antar umat beragama (menjadi kewenangan individu masing – masing).

Untuk pembangunan kampung, biasanya ada sumbangan dari tamu. Terbaru mendapatkan restorasi dengan dana dari Perancis (2009). Pengalaman dulu ketika Romo Mangun masih ada, setiap ada tamu biasanya ada sumbangan. Maka mental yang disebut mental kere tersebut sempat berbenturan dengan masyarakat luar yang akan berkunjung ke kampung itu entah untuk penelitian mahasiswa, bisnis atau apapun. Stereotype yang muncul adalah “berharap” pemasukan dana dari kedatangan tamu.

Namun bagaimanapun juga perkembangan sudah cukup signifikan karena sekarang sudah tidak ada lagi penduduk setempat yang bekerja sebagai karyawan “bank” (bank-jo atau lampu abang ijo). Mantan pengemis yang sudah tinggal 3 – 4 orang tersebut kini sudah pensiun melakukan pekerjaan sebagai peminta – minta dikarenakan faktor usia selain karena faktor perubahan pola pikir. Sedangkan interaksi dengan masyarakat di sekitar kampung tersebut, biasanya melalui acara yang bergabung dengan masyarakat luar seperti acara Ultah kodya dengan masyarakat kelurahan kotabaru seperti panggung hiburan dan pertunjukan wayang semalam suntuk.

Kampung Code menyediakan berbagai fasilitas yang memudahkan orang luar untuk menikmatinya. Beberapa rumah warga Kampung Code disewakan untuk pengunjung yang ingin menginap dengan harga sewa yang cukup terjangkau. Hal ini membantu tujuan seseorang untuk meneliti kehidupan sosial masyarakat di Kampung Code, karena dengan begitu peneliti dapat bersosialisasi secara langsung dengan warga yang diteliti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOCIAL JUDGMENT THEORY OLEH MUZAFER SHERIF

Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam – macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut. Social Judgment Theory (selanjutnya disebut SJT) dipopulerkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog yang berasosiasi dengan Oklahoma University (meninggal 16 Oktober 1988). Teori ini berarti sebuah penilaian atau pertimbangan atas pesan yang diterima dengan membandingkannya terhadap isu terkini. EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT Ungkapan – ungkapan

Langkah Forriz Hotel, Sejalan Dengan Perkembangan Bisnis di Yogyakarta

Yogyakarta kini, selain masih kental dengan julukan kota pelajar dan budaya juga sudah berkembang menjadi kota bisnis. Majemuk-nya masyarakat yang tinggal maupun berkunjung di Jogja telah membuka banyak peluang potensi bisnis dan juga wisata, tak terkecuali industri ramah-tamah seperti perhotelan. Forriz hotel adalah salah satu bagian yang turut andil dalam merespon potensi bisnis di kota yang juga dikenal dengan kota sejuta kenangan. Dimiliki oleh PT Forriz Sentral Gemilang, hotel yang terletak di Jln. HOS Cokroaminoto No. 60 Pakuncen, Yogyakarta ini hadir memenuhi permintaan pasar industri ramah-tamah di Yogyakarta mulai bulan Juni 2017 silam. Saat itu Forriz hotel melakukan soft opening pada tanggal 26 Juni 2017 guna merespon permintaan pasar pada momentum lebaran di tahun tersebut. Sebagai hotel bisnis dengan peringkat bintang 3+, Forriz hotel memiliki fasilitas sebanyak 116 kamar dengan klasifikasi superior, deluxe dan suite. Untuk mendukung aktivitas bisnis,  disedi

HIPERSEMIOTIKA

Berbicara mengenai hipersemiotika, akan menjadi terasa terlampau jauh apabila belum menguraikan mengenai apa itu semiotika. Dimulai dari Umberto Eco yang mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu untuk berdusta (lie). Maksud definisi Umberto Eco tersebut adalah “bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya sesuatu tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan kebenaran, sehingga pada dasarya tidak dapat digunakan untuk mrngungkapkan apa-apa”. Merujuk pada apa yang dinyatakan Umberto Eco tersebut, dapat disimpulkan bahwa selain sebagai teori kedustaan, semiotika juga menjadi sebuah teori kebenaran.         Sebagai teori kedustaan sekaligus teori kebenaran,  semiotika digunakan untuk mempelajari tanda yang ada dalam segala aspek sosial untuk mengungkap kedustaan atau kebenaran itu sendiri. Hal ini berkorelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyampaikan bahwa semiotika mer